Senin, 28 Maret 2011

Al-Mundzirî dan Master Piece-nya “al-Targhîb wa al-Tarhîb”


Al-Mundzirî dan Master Piece-nya “al-Targhîb wa al-Tarhîb
صغير الحجم غزير العلم
kecil namun penuh limpahan ilmu
A.            Pendahuluan
Segala puji serta syukur kita anugerahkan kepada Allah Swt, Yang senantiasa merahmati hamba-Nya yang berkenan mempelajari sunnah-sunnah Rasul-Nya. Kemudian shalawat serta salam yang tulus kita ucapkan kepada Rasulullah Saw yang menyampaikan risalah kerasulannya kepada umatnya berdasarkan wahyu.
Alhamdulillah, hingga saat ini karya-karya para cendikiawan muslim dari abad ke abad tetap eksis di kalangan pengkaji ilmu agama. Salah satunya adalah al-Targhîb wa al-Tarhîb karya al-Imâm al-Hâfizh al-Mundzirî yang kaya akan manfaat. Sehingga kitab ini banyak menjadi sorotan pengkaji keislaman, khususnya dalam ilmu hadis. Kitab ini pun tak luput dari telaah tokoh kontemporer. Sebut saja Syeikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî, ia berhasil menyusun kitab yang memuat hadis-hadis yang ia nilai sebagai hadis shahîh dan dha‘îf yang terdapat di dalam kitab al-Targhîb wa al-Tarhîb ini. Namun terlepas dari paparan Syeikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî tentang kitab ini, di sini penulis hanya akan mengurai sedikit tentang kitab al-Targhîb wa al-Tarhîb ini, baik sejarah maupun metodologi penulisan, serta ihwal penulisnya.
B.             Biografi al-Mundzirî
a)             Nama dan Kelahirannya
Al-Mundzirî -dengan segala titelnya- adalah ‘Abdul ‘Azhîm Ibn ‘Abdil Qawî Ibn ‘Abdillah Ibn Salâmah Ibn Sa‘d, al-Hâfizh al-Kabîr, al-Imâm al-Tsabt, Syaikh al-Islâm, Zakî al-Dîn, Abû Muhammad al-Mundzirî al-Syâmî -tsumma- al-Mishrî.[1] Al-Subkî menjulukinya dengan waliyyullâh, turtajâ al-Rahmah bi dzikrihi wa yustanzalu ridhâ al-Rahmân bi du‘â’ihi (seorang wali yang dengan menyebut namanya serta dengan doanya rahmat dan ridha Allah diharapkan turun).[2] Al-Mundzirî dilahirkan di daerah Ghurrah[3] pada bulan Sya‘ban, 581 Hijriyah.[4] Hingga saat berumur 75 tahun tepatnya pada bulan Dzul Qa‘dah tahun 656 Hijriyah ia wafat di Mesir.[5]
b)            Rihlah ‘Ilmiyyah
Semasa perjalanannya ke beberapa daerah selama bertahun-tahun, berbagai ilmu pengetahuan berhasil ia peroleh. Hingga bisa dikatakan kemampuannya dalam ilmu agama -khususnya hadis- melebihi tokoh-tokoh sejawatnya pada masa itu.[6] Hal ini sangat mungkin terjadi lantaran ia berguru kepada para cendikiawan hadis yang tergolong huffâzh al-Hadîts dan didukung oleh kecerdasannya yang mumpuni. Bahkan berdasarkan pernyataan al-Dzahabî, al-Mundzirî telah memulai belajar hadis serta seluk beluknya dari beberapa orang guru semenjak tahun 591 Hijriyah, tepatnya saat ia berumur 10 tahun. Di samping itu ia pun menekuni al-Qirâ’ât al-Sab‘[7]dari pakarnya.[8]
c)             Guru dan Murid al-Mundzirî
Di Makkah ia belajar dan meriwayatkan hadis dari al-Hâfizh Abî ‘Abdillâh Ibn al-Binâ’.[9] Di Madînah ia belajar dan meriwayatkan hadis dari al-Hâfizh Ja‘far Ibn Amûrisân (أمورسان). Di Damaskus ia belajar dari al-Hâfizh ‘Umar Ibn Thabirzadz (طبرزذ) dan al-Hâfizh Abû al-Yaman al-Kindî. Dan di beberapa kota lainnya seperti al-Iskandariyyah, Harrân dan Bayt al-Maqdis dari al-Hâfizh al-Muthahhar Ibn Abî Bakr al-Baihaqî dan al-Hâfizh ‘Alî al-Mufaddhal al-Maqdisî.[10]
Kepakarannya dalam hadis dan mushthalah-nya menarik para pelajar dari berbagai daerah untuk menggali ilmu darinya. Bahkan al-Dzahabî yang dikenal sebagai seorang yang pakar hadis dan al-Hâfizh mengakui bahwa kebanyakan guru-gurunya adalah murid dari al-Mundzirî. Ia mengatakan, “diantara guru-guru kami yang belajar hadis darinya adalah al-Dimyâthî, Ibn al-Zhâhirî, Abû al-Husayn al-Yûnaynî, Abû ‘Abdillâh al-Qazzâz, Ismâ‘îl Ibn al-Nashr”.[11] Lebih dari itu, ulama besar seperti Qâdhî al-Quddhât Taqiyy al-Dîn Ibn Daqîq al-‘Ied dan Sulthân al-‘Ulamâ’ ‘Izz al-Dîn Ibn ‘Abdissalâm pun merupakan murid dari al-Mundzirî.[12] Oleh karena itu, mengenai kualitas al-Mundzirî dalam meriwayatkan hadis, Ibn ‘Abdissalâm men-ta‘dîl al-Mundzirî dengan sebutan Imâm Hujjah Tsabt Mutatsabbit yang tiada bandingan pada masanya dalam ilmu hadis dengan segala cabangnya.[13]
C.             Al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf
a)             Sekilas tentang al-Targhîb wa al-Tarhîb
Selain Mukhtashar Shahîh Muslim, Mukhtashar Sunan Abî Dâwûd, al-Mu‘jam dan kitab fikih,[14] al-Mundzirî menulis karya yang dinilai fenomenal yaitu kitab al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf. Sebuah buku yang terdiri dari hadis-hadis Nabi Saw mengenai hal-hal yang layak diperoleh dan patut diamalkan oleh seorang muslim serta konsekuensi baiknya. Hadis-hadis semacam ini masuk pada kategori Targhîb (ترغيب). Pada sisi lain kitab ini juga memuat hadis-hadis yang menjelaskan hal-hal yang patut dijauhi oleh seorang muslim serta konsekuensi tidak baiknya bila didekati atau dilakukan. Hadis-hadis semacam ini masuk pada kategori Tarhîb (ترهيب).
Aplikasi etimologi dari dua kata ini yakni al-Targhîb dan al-Tarhîb dapat kita temukan contohnya pada pendahuluan kitab ini. Al-Mundzirî menuliskan; إن ربك فعال لما يريد، ورغّب في ثوابه ورهّب من عقابه sesungguhnya Tuhanmu benar-benar melakukan apa saja yang Dia kehendaki, dan Dia menyukai (jika hamba-Nya mengharapkan) pahala dari-Nya. Sebaliknya Dia mengantisipasi (hamba-Nya) dari hukuman-Nya”.[15]
b)            Latar belakang penulisan kitab al-Targhîb wa al-Tarhîb
Hampir serupa dengan kitab al-Inshâf karya al-Baqillânî dan al-Mujtabâ (Sunan al-Nasâ’î al-Sughrâ) karya al-Nasâ’î yang penulisannya dilatarbelakangi oleh permintaan khalifah pada masanya, penulisan kitab al-Targhîb wa al-Tarhîb ini pun mempunyai latar belakang penulisan.[16] Namun hal yang membedakan antara al-Inshâf dan al-Mujtabâ dengan al-Targhîb wa al-Tarhîb adalah orang kedua yang melatarbelakangi. Ketika al-Inshâf dan al-Mujtabâ ditulis atas permintaan khalifah, lain halnya dengan al-Targhîb wa al-Tarhîb yang dilatarbelakangi oleh permintaan para santri al-Mundzirî.
Setelah menyelesaikan penulisan Mukhtashar Sunan Abî Dâwûd dan kitab-kitab fikih, ia diminta oleh para santrinya yang begitu perhatian terhadap ilmu agama untuk menulis sebuah karya yang mencakup aspek-aspek al-Targhîb dan al-Tarhîb yang berasal dari hadis-hadis Nabi Saw tanpa perlu berpanjang-panjang dalam menuliskan sanad dan pembahasan kritiknya.[17] Setelah berikhtiar kepada Allah Swt seraya meyakini bahwa permintaan para santrinya tersebut memang tulus, maka ia pun menulis al-Targhîb wa al-Tarhîb yang ia nilai dengan ungkapan; صغير الحجم غزير العلم kecil namun dengan limpahan ilmu”.[18]
c)             Sumber Pengambilan Kandungan kitab al-Targhîb wa al-Tarhîb
Sesuai dengan namanya, yakni al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, tampak pengambilannya berasal dari hadis-hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh imam-imam kutub sittah, termasuk al-Marâsîl karya Abû Dawûd, al-Sunan al-Kubrâ dan Kitâb al-Yawm wa al-Laylah karya al-Nasa’î, tiga kitab al-Mu‘jam karya al-Thabrânî, Musnad Abî Ya‘lâ, Musnad al-Bazzâr, Shahîh Ibn Hibbân, Shahîh Ibn Khuzaimah, al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhayn karya al-Hâkim, kitâb-kitab karya Ibn Abî al-Dunyâ, Syu‘ab al-Îmân dan al-Zuhd karya al-Baihaqî.[19] Juga terdapat kitab dengan judul yang sama dengan karya al-Mundzirî ini, yaitu al-Targhîb wa al-Tarhîb karya Abû al-Qâsim al-Ashbihânî yang menjadi referensi al-Mundzirî dalam menuliskan al-Targhîb wa al-Tarhîb karyanya. Ia hanya mengambil tema-tema yang tidak terdapat pada kitab-kitab yang disebutkan di atas.[20]
d)            Sistematika penulisan kitab al-Targhîb wa al-Tarhîb
Corak penulisan kitab al-Targhîb wa al-Tarhîb dapat dikatakan memiliki sistematika yang sangat maju pada masanya. Di samping tersusun rapi bab per-bab dengan urutan model al-Ahamm fa al-Ahamm (mendahulukan masalah yang lebih urgen) seperti urutan Kitâb al-‘Ilm, Kitâb al-Thahârah lalu Kitâb al-Shalâh dan seterusnya, al-Mundzirî menuliskan panduan membaca kitabnya ini pada pendahuan berupa jenis hadis yang ia cantumkan hanya berkaitan dengan al-Targhîb wa al-Tarhîb, melainkan sebagian kecil hadis yang tidak berkaitan dengan al-Targhîb wa al-Tarhîb lantaran rangkaian hadis tersebut mencakup aspek al-Targhîb wa al-Tarhîb dan aspek lainnya.[21]
1.             Penyandaran Kepada Shâhib al-Kitâb
Seperti kitab-kitab lainnya semisal Riyâdh al-Shâlihîn karya al-Nawawî, setelah menampilkan hadis dalam kitabnya ini al-Mundzirî menyandarkan periwayatan kepada imam yang meriwayatkan hadis tersebut seumpama kepada al-Bukhârî, Muslim dan kepada yang lainnya dengan ungkapan rawâhû al-Bukhârî wa Muslim (رواه البخاري ومسلم). Jika satu hadis yang ditampilkan itu diriwayatkan oleh banyak periwayat seperti para imam al-Kutub al-Tis‘ah, biasanya al-Mundzirî hanya menampilkan beberapa saja guna meringkasnya, terlebih jika hadis tersebut juga diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim dalam al-Shahîhain maka al-Mundzirî hanya menuliskan penyandaran riwayat kepada dua orang imam ini atau hanya kepada salah satunya.[22]
Misal, hadis targhîb dalam menuntut ilmu;
عن معاويةt  قال قال رسول الله e: من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين رواه البخاري ومسلم.
Dari Mu‘âwiyah ra, ia berkata; Rasulullah Saw telah bersabda, “siapa yang Allah kehendaki untuk diberi kebaikan, dia akan diberikan pemahaman agama”, diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim.[23]
2.             Mengomentari Sanad
Sebagaimana lumrahnya para pakar hadis yang sering mengomentari kualitas dan keotentikan hadis yang mereka munculkan, al-Mundzirî pun melakukan hal yang sama. Namun tidak semua hadis yang dimunculkannya akan dikomentari, melainkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para periwayat yang biasanya kitab-kitab mereka tidak selalu dikenal sebagai kitab yang bernuansa hadis shahih layaknya shahih al-Bukhârî dan Muslim. Meskipun kualitas hadis-hadis itu ia komentari, namun ia tetap tidak menyebutkan rentetan sanadnya, karena tujuan utama dari komentar itu hanya untuk mengetahui apakah hadis itu termasuk shahih, hasan atau pun lemah, bahkan palsu tanpa perlu menampilkan perbedaan pendapat dari pakar jarh wa ta‘dîl mengenai periwayat yang bermasalah.[24]
Misal, hadis targhîb dalam menuntut ilmu;
عن حذيفة بن اليمان رضي الله عنهما قال قال رسول الله e فضل العلم خير من فضل العبادة وخير دينكم الورع. رواه الطبراني في الأوسط والبزار بإسناد حسن.
Dari Hudzaifah Ibn al-Yamân ra, ia berkata; Rasulullah Saw telah bersabda, “keutamaan ilmu lebih baik dari keutamaan beribadah, dan sebaik-baik sikap beragamamu adalah sikap wara‘”. Diriwayatkan oleh al-Thabrânî dalam al-Mu‘jam al-Awsath, dan al-Bazzâr (dalam musnadnya) dengan sanad Hasan.[25]
Kendatipun kitab-kitab semacam ini rentan akan penggunaan hadis palsu dalam masalah al-Targhîb wa al-Tarhîb dan fadhâ’il al-A‘mâl, al-Mundzirî -sebagaimana isyarat darinya- tetap konsisten untuk menampilkan hadis-hadis dinilainya non-palsu. Ia pun menilai banyak penulis kitab yang tasâhul (bersikap longgar saat men-tajrîh) dalam menggunakan hadis-hadis al-Targhîb wa al-Tarhîb dan fadhâ’il al-A‘mâl, bahkan ketika meriwayatkan hadis itu mereka tidak menyebutkan indikasi kepalsuan hadis itu.[26] Namun jika memang di dalam sanad hadis yang ia munculkan dalam kitabnya ini terdapat periwayat yang dinilai pemalsu -meskipun diperselisihkan- maka ia memberikan shighah tamrîdh dengan kata ruwiya (رُوِيَ).[27]
Misal, hadis targhîb tentang ayat-ayat dan zikir-zikir yang dibacakan di pagi dan di sore hari;
روي عن عثمان بن عفان t  أنه سأل رسول الله e عن مقاليد السموات والأرض فقال النبي e ما سألني عنها أحد، تفسيرها لا إله إلا الله والله أكبر وسبحان الله وبحمده أستغفر الله لا حول ولا قوة إلا بالله الأول الآخر الظاهر الباطن بيده الخير يحيي ويميت وهو على كل شيء قدير، يا عثمان من قالها إذا أصبح عشر مرات أعطاه الله بها ست خصال، أما واحدة فيحرس من إبليس وجنوده، وأما الثانية فيعطي قنطارا في الجنة، وأما الثالثة فترفع له درجة في الجنة، وأما الرابعة فيزوج من الحور العين، وأما الخامسة فله فيها من الأجر كمن قرأ القرآن والتوراة والإنجيل، وأما السادسة يا عثمان له كمن حج واعتمر فقبل الله حجه وعمرته، وإن مات من يومه ختم له بطابع الشهداء. رواه ابن أبي عاصم وأبو يعلى وابن السني وهو أصلحهم إسنادا وغيرهم وفيه نكارة وقد قيل فيه موضوع وليس ببعيد والله أعلم
Diriwayatkan dari ‘Utsmân Ibn ‘Affân ra, ia bertanya kepada Rasulullah Saw tentang maqâlîd langit dan bumi. Lalu Nabi Saw bersabda, “aku belum pernah ditanyai masalah ini oleh siapapun”, maksud (maqâlîd langit dan bumi) itu adalah kalimat lâ ilâha illâ Allâh -hingga- wa huwa ‘alâ kulli syai’in qadîr”. Wahai ‘Utsmân, siapa saja yang mengucapkannya sepuluh kali di pagi hari maka Allah akan memberinya enam kebaikan, -hingga- dan jika dia wafat pada hari itu, maka dia dicap sebagai syuhadâ’. Diriwayatkan oleh Ibn Abî ‘Âshim, Abû Ya‘lâ dan Ibn al-Sunnî, dan -riwayat- Ibn al-Sunnî adalah yang “paling baik” sanadnya dibanding yang lainnya. Di dalamnya terdapat periwayat yang munkar al-Hadîts. Ada yang mengatakan di dalamnya terdapat pemalsu, namun ini tidak jauh beda, Allâhu A‘lam.[28]
3.             Identifikasi Kualitas Hadis dengan Shighah
Agar memudahkan pembaca untuk mengenali kualitas hadis yang  dimunculkan, al-Mundzirî memberikan shighah tertentu. Jika hadis yang ia munculkan berpredikat shahîh, hasan, atau yang mendekati keduanya (baca: shahîh li ghairih atau hasan li ghairih), maka ia memberikan shighah ‘an‘anah dengan kata ‘an (عن). Begitu pula jika sanad hadis yang dimunculkannya berstatus mursal, munqathi‘, mu‘dhal, atau terdapat periwayat yang mubham, ataupun status periwayat dan rentetan sanadnya diperselisihkan dalam hal kekredibelan dan kesinambungannya, maka al-Mundzirî juga menggunakan shighah ‘an‘anah. Namun perbedaannya dengan ‘an‘anah yang di atas adalah, ‘an‘anah yang kedua ini dibarengi dengan penjelasan sisi kelemahan sanadnya berupa status mursal, munqathi‘, mu‘dhal dan lain sebagainya, namun tetap konsisten untuk tidak berpanjang lebar dalam menampilkan kecacatan hadis tersebut.[29]
Kemudian jika dalam sanad hadis yang ia tampilkan terdapat periwayat yang dianggap pendusta, tertuduh dusta, pemalsu, disepakati matrûk-nya, suka melenyapkan hadis, sangat lemah atau semata-mata lemah, dan tidak didapati ulama yang men-ta‘dîl-nya hingga tidak ada kemungkinan adanya indikasi lain yang dapat menaikkan kualitas hadis ini menjadi hasan, maka al-Mundzirî menggunakan shighah tamrîdh dengan kata ruwiya (رُوِيَ), sebagaimana sedikit disinggung di atas. Dua macam shighah ini dapat ditilik kembali pada tiga buah contoh riwayat di atas.
4.             Pengelompokkan Periwayat yang Diperselisihkan
Dan yang tidak kalah penting, pada bagian akhir dari kitab ini ia menuliskan daftar nama-nama periwayat yang diperselisihkan kualitasnya berdasar huruf abjad yang terdapat di dalam sanad hadis yang ia cantumkan dalam kitabnya.[30] Tidak hanya mengemukakan pendapatnya, keputusan jarh wa ta‘dîl yang beragam oleh para pakar hadis sebelum dirinya pun ia tampilkan.[31] Tentunya selain bertujuan menyingkatkan isi kitabnya, keberagaman keputusan jarh wa ta‘dîl oleh para pakar inilah yang mendorong al-Mundzirî untuk mencantumkan nama-nama itu pada bab tentang periwayat yang diperselisihkan kualitasnya. Jika nama-nama periwayat yang ia tuliskan pada akhir kitabnya ini dihitung, terdapat 186 periwayat yang diperselisihkan statusnya oleh ulama.[32] Namun terkadang al-Mundzirî -sebagaimana pernyataannya- tidak menyebutkan beberapa orang yang diperselisihkan -dalam daftar ini-.[33] Jika begitu, jumlah 186 ini bisa menanjak naik hingga lebih kurang 200 periwayat.
Namun, hal ini bukan tanpa alasan, karena al-Mundzirî pernah menyatakan, “jika para periwayat hadis dalam al-Targhîb wa al-Tarhîb ini kredibel, namun terdapat seorang periwayat yang diperselisihkan, maka aku menilainya hasan, mustaqîm, lâ ba’sa bih jika terdapat indikasi yang dapat menaikkan kualitasnya”.[34] Pemahaman yang dapat kita ambil dari pernyataan ini adalah, jika keseluruhan periwayat yang diperselisihkan itu ditampilkan pada daftar yang ia tulis, maka besar kemungkinan banyak hadis yang akan diperselisihkan kualitasnya bahkan ditolak meskipun sudah mencapai kualitas hasan maupun hasan li ghairih hanya lantaran terdapat satu periwayat yang diperselisihkan kualitasnya.
Misal, hadis targhîb seseorang untuk bertahan duduk di tempat shalatnya setelah shalat subuh dan ashar;
عن عبد الله بن غابر أن أمامة وعتبة بن عبد رضي الله عنهما حدثاه عن رسول الله e قال من صلى صلاة الصبح في جماعة ثم ثبت حتى يسبح لله سبحة الضحى كان له كأجر حاج ومعتمر تاما له حجه وعمرته، رواه الطبراني وبعض رواته مختلف فيه وللحديث شواهد كثيرة
Dari ‘Abdullah Ibn Ghâbir, bahwasannya Umâmah dan ‘Utbah Ibn ‘Abd ra menceritakan kepadanya dari Rasûlullâh Saw, Beliau bersabda, siapa yang melaksanakan shalat subuh berjama‘ah lalu dia tetap pada posisinya hingga dia melaksanakan shalat sunat dhuha maka baginya adalah semisal pahala orang melaksanakan haji dan umrah secara sempurna. Diriwayatkan oleh al-Thabrânî, sementara sebagian periwayatnya diperselisihkan, namun hadis ini memiliki banyak syawâhid.[35]
Meskipun di dalamnya terdapat periwayat yang diperselisihkan, namun hal ini tidak mengganggu kualitas hadisnya yang layak diamalkan, bahkan mempunyai syawâhid yang dapat menguatkannya. Kualitasnya pun dapat ditandai dengan shighah yang digunakan oleh al-Mundzirî, yakni ‘an‘anah yang ia rumuskan untuk menandai keotentikan hadis yang digunakannya.
5.             Sikap Al-Mundzirî
Mengenai status hadis yang ia munculkan, ia mempunyai sikap tersendiri di tengah-tengah perbedaan pendapat ulama mengenai kualitas sanad hadis tersebut. Al-Mundzirî menuturkan -sebagaimana di atas-, jika para periwayat hadis itu kredibel, namun terdapat seorang periwayat yang diperselisihkan, maka ia menilainya hasan, mustaqîm, lâ ba’sa bih atau ungkapan lainnya tergantung kondisi sanad dan matan serta keberadaan syawâhid yang bisa mendukung kekuatannya. Bahkan ia juga mengingatkan kepada murid-muridnya yang menghadiri majelis imlâ’-nya terhadap beberapa periwayat seperti Abû Dâwûd yang tasâhul dengan konsep sukût-nya, al-Tirmidzî dengan tahsîn-nya, kemudian Ibn Hibbân dan al-Hâkim dengan tashhîh-nya. Namun menurutnya peringatan ini bukan dalam rangka mengkritik mereka, akan tetapi sebagai hal yang patut diamati oleh pembaca. Untuk periwayatan Abû Dâwûd yang dipakai oleh al-Mundzirî dalam kitabnya, ia meyakini bahwa kualitas hadis yang tidak dikomentari oleh Abû Dâwûd tidak kurang dari kualitas hasan, bahkan tidak jarang terdapat hadis yang mencapai syarat yang ditentukan oleh al-Bukhârî dan Muslim sehingga al-Bukhârî atau Muslim juga meriwayatkan hadis yang sama dengan riwayat Abû Dâwûd.[36]
e)             Kesimpulan
Al-Targhîb wa al-Tarhîb adalah sebuah kitab yang terdiri dari hadis-hadis Nabi Saw mengenai keutamaan-keutamaan yang dapat dicapai oleh seorang muslim ketika melakukan amalan-amalan baik, yang kemudian dinamakan dengan hadis-hadis Targhîb (ترغيب). Pada sisi lain kitab ini juga memuat hadis-hadis yang menjelaskan keburukan-keburukan yang akan menimpa seorang muslim jika melakukan hal-hal tidak baik. Hadis-hadis semacam ini disebut dengan hadis-hadis Tarhîb (ترهيب).
Ditulis oleh pakar hadis pada masanya dengan sistematika yang amat baik, berupa keseimbangan antara penyebutan perihal targhîb dan tarhîb dari hadis Nabi Saw, penerapan bab, penisbahan hadis kepada sumber aslinya, merumuskan hadis-hadis yang absah dan yang tidak absah ataupun yang dikeragui menggunakan shighât tamrîdh dan ‘an‘anah guna mempermudah pembaca, kemudian pencantuman daftar nama-nama periwayat bermasalah yang kadang dibarengi dengan keputusan penulis.
Alhamdulillâhi Rabbil ‘Âlamîn, tulisan singkat ini dapat terselesaikan meski menyisakan kekurangan. Namun, kekurangan ini tentunya tidak akan memberikan cacat terhadap kitab ini lantaran nilai kandungannya yang sangat layak dipuji dan diamalkan.


**********
Daftar Pustaka
Al-Dzahabî, Syams al-Dîn, Tadzkirah al-Huffâzh, edisi Zakariya ‘Umairat, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet.I, 1419H).
Al-Subkî, Tâj al-Dîn, Thabaqât al-Syâfi‘iyyah al-Kubrâ, edisi Mahmûd Muhammad al-Thanâhî, (Beirut: Hijr, cet.II, 1413H).
Al-Mundzirî, ‘Abd al-‘Azhîm, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, edisi Ibrâhîm Syamsuddîn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet.III, 1424H).
Hâjî Khalîfah, Kasyf al-Zhunûn, (al-Maktabah al-Syâmilah).
Ibn Katsîr, Abû al-Fidâ’, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (al-Maktabah al-Syâmilah).



[1] Al-Dzahabî, Tadzkirah al-Huffâzh, edisi Zakariya ‘Umairat, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet.I, 1419H), vol.IV, h.153.
[2] Al-Subkî, Thabaqât al-Syâfi‘iyyah al-Kubrâ, edisi Mahmûd Muhammad al-Thanâhî, (Beirut: Hijr, cet.II, 1413H), vol.VIII, h.259.
[3] Secara garis besar pakar sejarah seperti Ibn Katsîr dan al-Dzahabî menyepakati kelahirannya di Ghurrah. Namun mereka tidak memastikan apakah daerah ini merupakan bagian daerah Syam (Syiria sekarang) atau Mesir. Melihat urutan kuniyah yang dituliskan al-Dzahabî yakni al-Syâmî tsumma al-Mishrî, tampak al-Dzahabi menguatkan kelahirannya di Syam. Namun Ibn Katsir mengatakan kelahirannya di Mesir, sementara Syam ia posisikan pada kata Qîla  (sebuah ungkapan yang tidak begitu kuat), meski Ibn Katsîr sendiri mengakui bahwa al-Mundzirî (baca: leluhurnya) mempunyai daerah asal di Syam. Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (al-Maktabah al-Syâmilah), vol.XIII, h.245.
[4] Al-Dzahabî, Tadzkirah al-Huffâzh, vol.IV, h.153. Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, vol.XIII, h.245. Al-Subkî, Thabaqât al-Syâfi‘iyyah al-Kubrâ, vol.VIII, h.259.
[5] Pada tahun ini wilayah Islam mengalami penjajahan brutal oleh bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jengish Khan. Mulai dari wilayah Azerbaijan, lalu Bagdad, kemudian Syam.
[6] Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, vol.XIII, h.245. Al-Subkî, Thabaqât al-Syâfi‘iyyah al-Kubrâ, vol.VIII, h.259.
[7] Yang terdiri dari qirâ’ât Nâfi‘, ‘Âshim, Hamzah, ‘Abdullâh Ibn ‘Âmir, ‘Abdullah Ibn Katsîr, Abû ‘Amr Ibn al-‘Alâ’, ‘Alî al-Kisâ’î.
[8] Al-Dzahabî, Tadzkirah al-Huffâzh, vol.IV, h.154.
[9] Al-Subkî, Thabaqât al-Syâfi‘iyyah al-Kubrâ, vol.VIII, h.259.
[10] Al-Dzahabî, Tadzkirah al-Huffâzh, vol.IV, h.153. Al-Subkî, Thabaqât al-Syâfi‘iyyah al-Kubrâ, vol.VIII, h.259.
[11] Al-Dzahabî, Tadzkirah al-Huffâzh, vol.IV, h.153.
[12] Al-Subkî, Thabaqât al-Syâfi‘iyyah al-Kubrâ, vol.VIII, h.260.
[13] Al-Dzahabî, Tadzkirah al-Huffâzh, vol.IV, h.153.
[14] Al-Dzahabî, Tadzkirah al-Huffâzh, vol.IV, h.153. Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, vol.XIII, h.245. Al-Subkî, Thabaqât al-Syâfi‘iyyah al-Kubrâ, vol.VIII, h.260. Penulis belum mengetahui identitas kitab fikih yang ia tulis. Namun hal yang dapat diterka adalah bahwa ia menulis kitab fikih mazhab Imam Syafi‘î. Faktor yang menguatkan ini adalah keberadaan namanya dalam daftar ulama-ulama bermazhab Imam Syafi‘î oleh al-Subkî dalam kitabnya yaitu Thabaqât al-Syâfi‘iyyah al-Kubrâ (buku induk biografi tokoh-tokoh mazhab syafi‘î).
[15] Al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, edisi Ibrâhîm Syamsuddîn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet.III, 1424H), vol.I, h.3.
[16] Pada dasarnya setiap karya yang ditulis mempunyai latar belakang penulisan. Boleh jadi sebuah karya ditulis atas keinginan sendiri yang hal ini bisa dikatakan bahwa latar belakangnya adalah orang pertama yaitu penulis sendiri dengan dorongan dari dirinya tanpa orang lain. Namun yang sering menjadi keistimewaan dalam masalah ini adalah sebuah karya dilatarbelakangi oleh orang kedua yang dinilai istimewa oleh penulis karya tersebut.
[17] Model ini disebut dengan Mu‘allaq. Namun tidak sebagaimana yang dimaksud dalam ilmu hadis sebagai hadis lemah disebabkan ketiadaan sanadnya. Akan tetapi mu‘allaq dalam hal ini adalah mu‘allaq shûrî yaitu hanya tampak pada tampilannya saja, bukan hakikatnya, guna menyingkatkan dan mempermudah pembaca untuk mencapai yang dia tuju, yaitu redaksi hadis tersebut. Model ini serupa dengan kitab Riyâdh al-Shâlihîn karya al-Nawawî dan kitab-kitab lainnya yang mengandung aspek-aspek al-Targhîb wa al-Tarhîb tanpa berpanjang lebar dalam menyebutkan sanadnya sebagaimana kitab-kitab hadis induk.
[18] Al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, vol.I, h.3.
[19] Al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, vol.I, h.4.
[20] Al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, vol.I, h.4. Hâjî Khalîfah, Kasyf al-Zhunûn, (al-Maktabah al-Syâmilah), vol.I, h.400.
[21] Al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, vol.I, h.4.
[22] Al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, vol.I, h.4.
[23] Al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, vol.I, h.51.
[24] Al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, vol.I, h.4.
[25] Al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, vol.I, h.50.
[26] Al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, vol.I, h.4.
[27] Al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, vol.I, h.5.
[28] Al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, vol.I, h.262.
[29] Al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, vol.I, h.4.
[30] Al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, vol.IV, h.320-338.
[31] Apa yang dilakukan al-Mundzirî pada bab ini tidak menafikan sikapnya yang pada awalnya ia tidak ingin membahas sisi kelemahan personaliti sanad. Al-Mundzirî hanya menginginkan pembahasan jarh wa ta‘dîl tidak memperpanjang pertengahan kitabnya yang bertujuan semata-mata membahas al-Targhîb wa al-Tarhîb. Oleh karena itu ia membuat bab tersendiri untuk menuliskan daftar nama-nama periwayat yang diperbincangkan kualitasnya oleh para ulama, yakni pada bagian akhir kitabnya ini.
[32] Jumlah ini berdasarkan penghitungan manual yang penulis lakukan pada bagian terakhir dari kitabnya ini.
[33] Al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, vol.I, h.4.
[34] Al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, vol.I, h.4.
[35] Al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, vol.I, h.178.
[36] Al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, vol.I, h.6.

1 komentar: